Ketika Indonesia Melawan Komunisme di Asia
1975.
Mungkin merupakan tahun yang sangat berbahaya bagi Indonesia. 10 tahun setelah Indonesia menumpas PKI pada 30 September, ancaman akan menyusupnya kembali gerakan-gerakan komunisme tumbuh di sekeliling Indonesia. Di bagian tenggara Indonesia, Timor Timur sedang menjalankan proses dekolonisasi dari Portugal.
Di bagian utara, militer Amerika semakin dikalahkan di Vietnam, Kamboja dan Laos yang dengan sendirinya menegakkan ideologi komunisme di kawasan tersebut. Apabila Indonesia lengah, negara-negara ini dapat menjadi markas bagi simpatisan komunime di Indonesia. Atau lebih parah lagi, dapat berkolaborasi untuk memulai gerakan komunisme di Indonesia, Malaysia, Singapura hingga akhirnya seluruh Asia. Lantas, bagaimana Indonesia dapat menghentikan penyebaran komunisme di seluruh Asia Tenggara?
(Melawan Komunisme di Asia)
Semenjak 1940-an, satu persatu negara di Asia Tenggara memperoleh kemerdekaannya. Tentunya, mereka harus segera memilih ideologi serta bentuk negara masing-masing. Di sini, mereka diberikan dua pilihan oleh negara besar lainnya. Antara mengikuti ideologi komunisme seperti Uni Soviet atau Republik Rakyat Cina,
(♪ pidato oleh Nikita Khruschev ♪)
Atau mengadopsi demokrasi dan liberalisme, ala Barat.
(♪ pidato oleh John F. Kennedy ♪)
Pada akhirnya, Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina dan Thailand memutuskan bahwa komunisme bukanlah ideologi yang tepat. Bahkan, merupakan sebuah ancaman. Kelima negara tersebut pun membentuk Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara atau yang kita sebut sebagai ASEAN di tahun 1967. Tujuan dari organisasi tersebut adalah untuk mempercepat pembangunan ekonomi, menjaga keamanan dan kestabilan kawasan, dan memperkuat kerja sama antar anggota. Kerja sama ini diharapkan untuk mempercepat pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sehingga tidak ada lagi alasan bagi seseorang untuk mengikuti kelompok-kelompok komunis yang mengklaim akan memperjuangkan kesejahteraan bagi kala yang banyak. Bukan hanya itu, negara anggota ASEAN juga berjanji untuk tidak mencampuri urusan internal satu sama lain. Hanya saja, prinsip keanggotaan ASEAN masih terlalu minim. Pasalnya, ketika ini semua terjadi, terdapat dua kawasan yang tidak tersentuh pada prinsip-prinsip ini.
Di Timor bagian timur, daerah ini masih dikuasai oleh Portugal, dan tidak terlalu terlibat dalam peristiwa-peristiwa Jakarta. Sedangkan di Indochina, Vietnam tengah berupaya untuk mempersatukan Kambodia dan Laos dalam sebuah konfederasi komunisme.
Namun, Vietnam ditentang oleh salah satu faksi dari partai komunis di Kamboja yang dipimpin oleh Pol Pot. Pasalnya, mereka khawatir bahwa Vietnam akan menjajah Kamboja layaknya Perancis menjajah mereka dulu. Pada tahun 1975, Pol Pot berhasil mengambil kekuasaan Kamboja dari jenderal Lon Nol yang sebelumnya melakukan kudeta terhadap Pangeran Sihanouk. Posisi Pol Pot diperkuat dengan amarah masyarakat terhadap Amerika Serikat dan pemerintahan Lon Nol yang berkolaborasi dan menjatuhkan ribuan bom di Kamboja. Meski sama-sama komunis, Pol Pot memiliki perselisihan dengan Vietnam yang dianggapnya hendak menjajah kembali Kamboja. Sementara di Timur, situasi serupa mulai terjadi. Portugal mulai bekerja untuk melepaskan jajahannya di Timor dan Mozambik setelah partai komunis Portugal mengambil alih pemerintahan di tahun 1974.
Beberapa aktivis beraliran kiri mulai datang kembali ke Timor Timur dan membentuk partai pro-kemerdekaan yang beraliran maoisme. Partai ini bernama Fretilin. Pada pemilihan umum yang diprakarsai oleh Portugal, Fretilin mendapat suara mayoritas. Sementara partai pro-integrasi, APODETI, berada di urutan ketiga.
(Ramos Horta: Kami bukanlah partai komunis)
Pada tanggal 5 Juli 1975, Presiden Soeharto bertemu dengan Presiden Amerika Serikat, Gerald Ford. Dalam pertemuan tersebut, mereka mendiskusikan strategi untuk menjaga keamanan di Asia Tenggara. Berdasarkan percakapan dari pertemuan tersebut, Presiden Soeharto menyatakan bahwa kemenangan Vietnam dan Kamboja disebabkan oleh fanatisme ideologi komunis yang dapat disebarkan untuk mendorong gerakan komunisme serupa di mana saja, tanpa memerlukan kekuatan militer yang kuat. Selain itu, Presiden Soeharto juga menyampaikan pandangannya mengenai situasi Timor. Menurutnya, gerakan kemerdekaan di Timor Timur sangat dipengaruhi oleh ideologi komunisme yang juga mensupresi pihak yang pro-Indonesia. Kembali lagi mereka bertemu di Jakarta. Kal ini, strategi dari kedua negara tersebut menjadi jelas. Untuk situasi di Indochina, Amerika Serikat, Thailand dan Republik Rakyat Cina akan mendukung rezim Pol Pot unutk menghadang ambisi Vietnam. Mesikpun pemerintahan tersebut telah melakukan genosida terhadap masyarakatnya sendiri. Sedangkan bagi masalah Timor, Presiden Soeharto mengungkapkan situasi yang semakin genting, dan hendak meminta: Pengertian dari pihak Amerika Serikat apabila Indonesia mengambil langkah drastis. Pada dasranya, Indonesia merasa bahwa operasi militer tidak terelakkan demi menjaga keutuhan wilayah dan menjaga keamanan Indonesia dari komunisme. Dan hal ini, didukung oleh Amerika Serikat.
(Pembawa berita: Desember 1975.)
Beberapa hari kemudian, Indonesia mulai menyerang dan menduduki Timor Timur dalam Operasi Seroja. Dalam situasi ini, seluruh anggota ASEAN, terutama Malaysia, memberikan dukungan diplomatik pada kebijakan Indonesia. Pasalnya, mereka sendiri juga pernah melawan gerakan komunisme dalam negara mereka sendiri. Namun, pada tahun 1978, Vietnam menginvasi Kamboja dan dengan sendirinya melebarkan pengaruhnya di seluruh Asia. Tampaknya, rencana mereka telah gagal. Indonesia beserta ASEAN khawatir bahwa Vietnam dapat melatih kadar komunis yang dapat dikirim ke negara-negara lain. Meskipun demikian, menggunakan aset-aset militer untuk mengalahkan Vietnam sangatlah mustahil. Karena Vietnam sudah lebih berpengalaman dalam berperang. Menggunakkan cara-cara diplomatik pun harus berhati-hati. Pasalnya, apabila Indonesia terlalu mengkritik Vietnam secara terbuka, Vietnam dapat mengembalikan kritikan ini dengan mengungkit operasi militer Indonesia di Timor Timur. Indonesia serta ASEAN melakukan berbagai cara. Dari mencegah pemerintahan pro-Vietnam untuk mendapatkan kursi di PBB, mendirikan pemerintahan Kamboja di luar negeri, serta menampung pengungsi yang melarikan diri. Pada akhirnya, Indonesia dan Malaysia kembali lagi menyarankan sebuah ide yang tercantum dalam Prinsip Kuantan. Di dalamnya, Presiden Soeharto dan Datuk Hussein Onn berpendapat bahwa solusi bagi permasalahan Kamboja harus bersifat politis dan bukan militer. Selain itu, Vietnam harus bisa menjadi negara netral agar tidak didikte oleh kekuasaan lain. Mendorong negara-negara besar seperti: Amerika Serikat, Cina,
dan Uni Soviet untuk tidak ikut campur. Serta penarikan seluruh personel militer Vietnam dari Kamboja. Saran ini bukan hanya sekedar perkataan. Pada Juli 1988, Indonesia menyelenggarakan Jakarta Informal Meeting untuk melibatkan berbagai pihak di konflik Kamboja dan Vietnam. Dan beberapa tahun kemudian, Vietnam menarik seluruh pasukannya dari Kamboja. Perdana Menteri Kambodia yang baru, yakni Hun Sen, mulai mengejar kebijakan-kebijakan yang berlainan daripada sosialisme. Selain itu, Vietnam, Kamboja, Laos dan Myanmar akan suatu saat menjadi anggota ASEAN, dan akan taat terhadap prinsip-prinsip yang tidak akan mencampuri urusan internal negara lain. Pada akhirnya, ancaman komunisme yang ditakutkan Indonesia tidak terjadi. Namun hal ini bukan berarti keamanan yang dicapai tidak tanpa korban jiwa. Di Timor, Kamboja, Laos dan Vietnam, banyak korban jiwa termasuk warga cipil berjatuhan. Sebuah tragedi kemanusiaan yang sangat mengenaskan. Luka yang tertinggal dari keluarga terpisah, rumah yang harus ditinggalkan, dan masa depan yang sirna dapat dirasakan sampai sekarang. Tapi, bagi para pemimpin pada kala itu, tragedi ini hanya satu dari banyak keputusan yang harus diambil. Bagi mereka, kepentingan nasional selalu berada di atas perikemanusiaan. Bahkan, tragedi ini adalah buah dari persaingan antar negara komunis dan strategi blok Barat yang dengan mudah memecah-belah mereka.