Kenapa WHO Gagal Menangani Corona? | Sejarah dan Struktur WHO
Akhir-akhir ini, Badan Kesehatan Dunia atau WHO, mendapat banyak kritikan karena dianggap gagal menangani COVID-19. Presiden AS Donald Trump: WHO salah total. Mereka sangat salah. Mereka menganggap remeh ancaman ini. Pembawa berita: Jepang mengkritik WHO karena dianggap membungkuk ke Cina dan mengecualikan Taiwan. Pada bulan Juni 2020, tercatat terdapat lebih dari 8 juta orang terinfeksi COVID-19 di seluruh dunia. Namun, apakah fungsi dan batasan dari WHO? Dan kenapa, meskipun memiliki berbagai pengalaman, WHO gagal dalam membendung penyebaran COVID-19? Badan kesehatan dunia dibentuk pada tahun 1948 demi menjalin kerjasama antar-negara dalam bidang kesehatan maupun kebersihan. Sebagai agensi di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), WHO memiliki peran yang sangat signifikan akan tetapi peran ini tidak datang begitu saja. Melainkan melalui sejarah yang panjang dan tragis. Kesehatan memang sering dianggap sebagai masalah sampingan dalam isu global. Namun, sejarah menunjukan bahwa penyebaran penyakit cenderung membunuh lebih banyak manusia dibandingkan peperangan. Sejak dulu, Penyakit menyebar seperti Cholera, Tifus, Campak, dan masih banyak lagi juga memakan korban yang tidak sedikit.
Di tahun 1918, sebuah penyakit flu yang sering disebut sebagai flu Spanyol menyebar ke seluruh Eropa dan Amerika. Pada akhirnya, penyakit ini membunuh kurang lebih 50 juta korban di akhir Perang Dunia I. Di saat dunia menganggap 17 juta korban jiwa akibat Perang Dunia 1 merupakan hal yang tragis, penyakit flu yang awalnya dianggap sepele ini justru menghabisi 3 kali lebih banyak nyawa. Belajar dari tragedi tersebut, Liga Bangsa-Bangsa membentuk League of Nations Health Organization (LNHO) pada tahun 1922 dengan tujuan untuk mengontrol dan mencegah penyebaran penyakit. Mereka melakukan ini dengan mengembangkan sistem peringatan dini. Jadi apabila ada satu negara anggota yang mengalami penyakit menyebar, mereka dapat mengabari LBB. LBB kemudian memberikan peringatan kepada negara anggota lain tentang cara-cara bagaimana mereka dapat mempersiapkan diri dalam menghadapi penyakit tersebut. LBB kemudian akan memberikan bantuan teknis untuk melawan penyakit tersebut dengan mengirim tim ahli. Selain itu, LNHO terus melakukan riset dan membangun kerjasama dengan berbagai institusi baik pemerintahan maupun non-pemerintahan.
WHO bisa dikatakan adalah kelanjutan dari organisasi ini. Untuk mencegah menyebarnya suatu penyakit, WHO harus terlebih dahulu menerima laporan dari salah satu anggotanya, mengirim tim ahli untuk memberikan bantuan bagi negara anggota yang terkena dampak, dan berkoordinasi dengan negara anggota lain untuk mencegah penyebaran lebih jauh. Memang, kedaulatan negara merupakan hal yang penting. Akan tetapi, WHO bukanlah sebuah rumah sakit raksasa, WHO hanya bekerja sebagai koordinator. Dan itu artinya, keberhasilan WHO sangat bergantung pada komitmen dan keterbukaan anggota-anggotanya. Apabila ada anggota yang menutupi sebuah penyakit menyebar, WHO tidak akan dapat memperingati anggota lain dalam waktu yang tepat dan justru memperluas penyakit yang ada. Atau, apabila WHO terlambat menyebarkan informasi yang diterima dari negara anggota, atau menyebarkan informasi yang salah, hal tersebut dapat berubah menjadi lebih fatal. Ambil contoh, tahun 2003. Pembawa berita: Meningkatnya kasus SARS. Panik meningkat di Hong Kong di mana virus baru menyebar di kota. Kementerian Kesehatan Republik Rakyat China melaporkan penyebaran kasus Pneumonia yang kemudian dinamakan sebagai Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS). Akan tetapi, Otoritas RRC memakan waktu yang terlalu lama sebelum mengklasifikasikan penyakit tersebut dengan potensi pandemik. Pembawa berita: Kritik mengatakan bahwa Cina memilih untuk menyelamatkan harga diri daripada menyelamatkan nyawa. Cina mengetahui tentang pandemik tersebut tetapi memilih menutupi informasi. WHO kemudian mengkoordinasikan Global Outbreak Alert and Response Network untuk memberikan bantuan tambahan bagi pemerintahan. Dalam waktu 4 bulan, penyebaran penyakit SARS dapat diberhentikan. Setelah kasus SARS, WHO menyadari bahwa mengandalkan kejujuran dari negara anggota saja tidaklah cukup. Di tahun 2005, para negara anggota menyetujui Revised Guideline on International Health Regulation. Peraturan ini pada dasarnya memberikan WHO lebih banyak kewenangan untuk memperingatkan negara anggota akan potensi penyakit menyebar sebelum mendapatkan persetujuan dari negara sumber penyakit tersebut. Untuk mencegah politisasi data, WHO juga berwenan dalam menyelidiki potensi penyakit menyebar menggunakan data-data non-pemerintahyang kredibel. Hal ini sangat membantu di tahun 2015, ketika kantor kawasan WHO di Afrika mendapat laporan akan penyebaran virus Ebola di Guinea. Seketika juga, WHO dapat lebih leluasa memobilisasi asetnya dan mengirim tim ke daerah yang terkena dampak Ebola khususnya di Liberia. Penyebaran Ebola menjadi tidak separah yang dulu. Banyak yang mengkritik WHO dalam kasus Ebola. Akan tetapi setidaknya, WHO berhasil membendung penyakit tersebut.
Lalu, apa yang terjadi pada kasus penyakit COVID-19? Dibandingkan dengan kasus sebelumnya, COVID-19 memakan jauh lebih banyak korban jiwa dan memakan waktu lebih lama untuk dibendung Di Amerika Serikat sendiri, jumlah korban jiwa akibat COVID-19 telah melebihi korban jiwa akibat Perang Korea, Vietnam, hingga Iraq. Semenjak WHO didirikan, misi organisasi tersebut semakin berkembang dari mencegah penyebaran penyakit hingga mencakup isu seperti obesitas, kecanduan, bahkan isu mengenai perubahan iklim dan kecelakaan lalu lintas. Tentunya dengan misi yang sangat luas tersebut, fokus dan prioritas WHO menjadi semakin….rancu.
Di tahun 2017, WHO melantik Tedros Adhanom Ghebreyesus sebagai Direktur Jenderal. Sebagai pimpinan teratas, Tedros memilih untuk lebih mengutamakan peningkatan akses kesehatan pada masyarakat secara luas di atas dari kapasitas WHO dalam merespon wabah. Target yang sangat ambisius ini pun akhirnya terjerat masalah yang sangat genting, yaitu Anggaran Belanja yang terbatas. Anggaran WHO sangatlah kecil. Di tahun 2020 dan 2021, WHO hanya memiliki anggaran 5 miliar USD. Sebagai perbandingan, anggaran kesehatan nasional Australia, negara yang memiliki populasi 24.9 juta jiwa, bernilai 120 miliar USD. Pendanaannya pun berasal dari dua sumber utama. Pertama, seluruh anggotanya wajib memberikan iuran wajib untuk mendanai operasional WHO. Dana iuran ini dapat digunakan WHO dengan leluasa, sesuai dengan prioritas setiap Direktur Jendral. Kedua, WHO juga dapat menerima dana sukarela baik dari aktor negara maupun non-negara seperti yayasan atau perusahaan hingga organisasi internasional lain. Berbeda dengan iuran wajib, dana yang diberikan secara sukarela hanya boleh digunakan dalam aktivitas yang disetujui oleh donatur. Dan disinilah permasalahan WHO dimulai. Semenjak krisis finansial tahun 2008, WHO justru semakin bergantung pada dana sukarela daripada iuran wajib. Bahkan, kontribusi wajib dari negara anggota hanya mendukung 20% dari keseluruhan budget yang dimiliki oleh WHO, yakni 5 miliar USD. Sementara 80% dari dana WHO berasal dari dana sukarela. Hanya 20% anggaran yang diterima oleh WHO dapat digunakan sesuka mereka. Sedangkan 80% dari anggaran tersebut, harus digunakan untuk memenuhi kepentingan dari para donatur. Hal ini memberikan organisasi non-pemerintah seperti Bill & Melinda Gates Foundation, pengaruh yang signifikan dalam prioritas WHO. Dana sukarela dari Bill & Melinda Gates Foundation yang kini menjadi penyokong terbesar kedua di WHO, sebagian besar ditujukan untuk memberantas penyakit Polio. Akibatnya, pemberantasan polio merupakan prioritas utama dari WHO dengan 26.5% dari dana operasi WHO wajib dialokasikan untuk memberantas Polio. Sedangkan hanya 5.96% saja yang akan digunakan untuk merespon wabah tertentu. Sejak tahun 1980, Negara anggota WHO lebih memilih untuk memberikan sumbangan sukarela dibandingkan membayar iuran wajib untuk meluaskan pengaruh politiknya di organisasi tersebut. Kurangnya dana dan independensi, dan permainan politik. Tentunya alasan-alasan tersebut sangat menghambat kemampuan WHO dalam menangani COVID-19. Selain itu, kepemimpinan WHO yang cenderung lamban, semakin memperparah situasi. Di awal tahun 2020, Tiongkok sudah melaporkan pada WHO akan sebuah kasus pneumonia yang masih misterius di Wuhan, provinsi Hubei. Berdasarkan media nasional, Xinhua, penyakit ini memiliki kemungkinan menular dari manusia ke manusia lain. Sudah sepantasnya WHO memperingati dunia akan potensi berbahaya ini. Anehnya, WHO mengklaim pada tanggal 12 Januari, bahwa mereka menerima data yang menunjukan bahwa tidak ada kasus penularan dari manusia ke manusia. Data ini tentu menjadi rujukan bagi negara lain yang bergantung pada penjelasan dari WHO. Selain itu, pada tanggal 31 Desember 2019, Taiwan, Hong Kong dan Singapura mulai mengambil langkah preventif dengan memperketat pengawasan di bagian kedatangan internasional bandara masing-masing. Kembali lagi, WHO kembali mengatakan bahwa hal tersebut tidak terlalu diperlukan. Hingga akhir bulan Januari pun, WHO masih bersikeras bahwa segala upaya untuk menutup pintu kedatangan internasional tidak diperlukan, bahkan akan memperburuk penanganan COVID-19. Tedros: Tidak ada alasan untuk tindakan yang dapat menganggu perjalanan dan perdagangan internasional. Kementerian Luar Negeri Tiongkok pun sempat menuduh Amerika Serikat menyebarkan panik dan stigma buruk dengan kebijakannya. Pembawa berita: Sementara Cina memprotes tindakan oleh Amerika Serikat dan negara-negara lain yang melarang masuknya warga negara Cina. Geng Shuang: Kami menolak tindakan Amerika Serikat yang mencela Cina karena virus ini. Ironisnya, Republik Rakyat Tiongkok sendiri membatasi kedatangan warga asing di negaranya atas dasar mencegah penyebaran virus Corona. Dan kebijakan ini, tidak terlalu mendapat banyak kritikan dari WHO sendiri. Jauh dari koordinasi, WHO justru menimbulkan frustasi dari berbagai negara karena perilakunya yang tidak berani mengambil langkah tegas terhadap Tiongkok. WHO seakan mengabaikan wewenangnya untuk mengkritisi data yang diberikan Tiongkok dengan menggunakan sumber-sumber lain yang mengindikasikan pemalsuan data, represi kebebasan berbicara, dan lain-lain. RRC bahkan dilaporkan telah membungkam tenaga medis yang menyebarkan peringatan dini akan bahaya dari Virus Corona ini. Frustrasi dari Amerika Serikat pun semakin tidak terbendung. Presiden Trump: Hari ini saya memberitahukan administrasi untuk menghentikan pendanaan WHO. Karena korban jiwa COVID-19 di Amerika Serikat merupakan yang tertinggi di dunia. Presiden Donald Trump pun bergegas mengancam akan mengurangi bantuan finansial AS kepada WHO. Apabila Donald Trump berhasil mencabut dukungan finansial terhadap WHO, WHO akan semakin kesulitan dalam menanggapi kasus COVID-19. Akan tetapi sekarang pun, apakah WHO sudah berhasil?