Kenapa Papua Mau Merdeka? | Sejarah Singkat Papua
Baru dua hari saja setelah Indonesia merayakan hari kemerdekaannya yang ke 74, Indonesia sudah dicekam oleh kerusuhan dan unjuk rasa yang berujung pada pembakaran gedung DPRD Papua barat, Manokwari. Lagi-lagi issunya adalah soal Papua. Kejadian ini tidak terjadi secara spontan melainkan merupakan hasil dari serangkaian presekusi dan tindakan penegak hukum yang dinilai represif. Bermula dari unjuk rasa aliansi mahasiswa Papua di Malang hingga penyerbuan asrama yang dipenuhi dengan mahasiswa asal Papua di Surabaya. Sementara perdebatan penyebab tragedi ini tak kunjung selesai, media serta aktivis nasional dan mancanegara, tak henti menyuarakan kemerdekaan Papua. Bagi mereka, Papua tidak lebih dari wilayah jajahan Indonesia yang diambil secara paksa di tahun 1990-an. Ditambah dengan tuduhan genosida terhadap etnis Papua dan kondisi ekonomi yang terpuruk, kemerdekaan Papua seakan-akan semakin di dukung dunia internasional.
Sayangnya, permasalahan untuk kemerdekaan tidaklah sesederhana itu. Untuk sebuah bangsa mencapai kemerdekaanya, diperlukan legitimasi moral dan legal yang sangat kuat. Jadi sebenarnya, siapakah yang memiliki Papua? Pada tahun 1800-an Papua adalah milik Belanda. Tercatat bahwa terdapat 15 posko pemerintahan Belanda di Papu pada tahun 1942. Meskipun dikuasai oleh Belanda, kegiatan pemerintahan kolonial, dilakukan oleh pegawai non-Belanda yang didatangkan dari daerah lain Indonesia. Kondisi yang terisolasi ini, menyebabkan dua hal. Pertama, Papua tidak terlalu terlibat dalam pergerakan kemerdekaan di Indonesia. Dan kedua, sentimen anti penjajahan di Papua juga dilampiaskan pada orang Indonesia, meskipun ada segelintir warga Papua yang mendukung Indonesia. Pada tahun 1949, Papua sudah selayaknya jadi milik Indonesia. Belanda, setuju untuk mengakui kemerdekaan Indonesia dan memberikan kedaulatan bagi semua wilayah bekas jajahanya berdasarkan perjanjian konferensi meja bundar, atau KMB. Akan tetapi, Papua tidak termasuk wilayah yang disetujui oleh Belanda.
Belanda, kemudian menggunakan argumen ras dan etnis, dengan menyatakan bahwa orang Papua sebenarnya bukan orang Indonesia, karena orang Indonesia, sebagian besar adalah ras Melayu sedangkan orang Papua adalah ras Melanesia. Pemerintahan Indonesia pun menolak pernyataan ini mentah-mentah. Karena, Indonesia tidak didasarkan atas ras atau etnis tertentu, melainkan dengan identitas yang beragam. Kebijakan yang dilakukan Belanda, pada dasarnya adalah kebijakan memecah belah dan merupakan praktik yang sering dilakukan oleh pemerintahan kolonial. Sebagai contoh, kerajaan Belgia mempertajam perbedaan antara suku Hutu dan Tutsi di Rwanda. Dengan mendukung satu suku dan menindas suku yang lain. Inggris memisahkan India dan Pakistan berdasarkan agama Islam dan hindu, dan masih banyak lagi. Hasilnya, orang-orang yang dipecah belah ini, cenderung terlibat dengan konflik satu sama lain. Khawatir akan hal serupa, Indonesia menolak penuh keputusan Belanda dan memilih untuk mengambil paksa Papua dengan operasi Trikora atau tiga komando rakyat.
Yaitu: 1, gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan Belanda; 2, Kibarkan sang merah putih di Irian barat tanah air Indonesia; dan 3, bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa. Setelah operasi Trikora dan referendum tahun 1969 atau yang dikenal sebagai penentuan pendapat rakyat atau PPRA, rakyat Papua yang waktu itu bernama Irian barat, dengan suara bulat memilih bergabung dengan Indonesia, meskipun dibantah oleh beberapa pengamat barat, hasil referendum diterima oleh Amerika Serikat, Uni Soviet, Australia, serta 81 anggota PBB lainya.
Setelah mengambil alih wilayah Papua, tuduhan akan genosida dan kekerasan terhadap pemerintahan RI, kian meningkat hari demi hari. Dan, ya kekerasan memang terjadi di Papua, namun perlu diingt, bahwa kekerasan ini terjadi oleh berbagai macam faktor. Menurut riset yang dilakukan oleh bank dunia dengan judul violent conflict in Indonesia studies, mengatakan bahwa jumlah korban jiwa karena konflik di provinsi Aceh, Sulawesi tengah, Maluku, Maluku utara Papua dan Papua barat periode 1998 sampai dengan 2008 telah berkurang secara signifikan. Bahkan, studi tersebut menemukan bahwa konflik antar suku main hakim sendiri dan bentuk konflik lainya telah menelan korban yang lebih banyak daripada konflik antara masyarakat dan aparat pemerintah. Peran pemerintahan Indonesia di wilayah Papua juga dipermasalahkan. Namun, alih-alih sangat mengekang dan merepresi warga Papua, pemerintahan Indonesia justru sangat absen dan sulit mendapatkan akses ke seluruh wilayah di Papua.
Meskipun tanah di Papua sangat kaya akan sumber daya alam, daerah tersebut masih jauh tertinggal dalam hal pembangunan. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah tidak hanya tinggal diam. Pemerintah Indonesia sedang berusaha untuk membangun Papua dengan mengeluarkan dana kurang lebih sebesar 85,7 Rupiah. Presiden Jokowi percaya bahwa pembangunan infrastruktur adalah kunci untuk menyelesaikan masalah-masalah lain yang ada di Papua. Hal yang sama juga sudah diwacanakan oleh presiden-presiden sebelumnya seperti di era Soeharto. Pembangunan di Papua, masih belum selesai dan masih banyak yang masih harus dikerjakan seorang pendeta Katolik dan koordinator Jaringan Damai Papua atau JDP bernama Neles Tebay, mengatakan bahwa kita tidak boleh melupakan pembangunan manusia di Papua bila kita tidak mau mereka hanya jadi penonton bagi kemajuan ekonomi di Papua. Bila Papua memang betul milik Indonesia, maka sudah selayaknya mereka diperlakukan seperti warga negara Indonesia, yang layak menerima keadilan sosial.
Siapakah yang memiliki Papua? Dan terlebih penting lagi, apakah kemerdekaan yang kita nikmati juga dirasakan oleh mereka?